ada catatan yang mana satu dari tiga bayi mendapatkan makan selain ASI pada tiga hari pertama atau prelakteal
Jakarta (ANTARA) – Studi Action Against Stunting Hub (AASH) di Lombok Timur menemukan sebanyak 33,4 persen bayi diberi makan selain Air Susu Ibu (ASI) pada tiga hari pertama.
“Hasil temuan kami menunjukkan terkait inisiasi menyusui dini, datanya cukup baik yang mana 96,6 persen bayi baru lahir yang disusui, dan 91,6 persen bayi diberikan ASI pertama berwarna kuning (kolostrum). Namun ada catatan yang mana satu dari tiga bayi mendapatkan makan selain ASI pada tiga hari pertama atau prelakteal,” ujar Peneliti SEAMEO RECFON sekaligus Country Lead studi AASH Indonesia, Dr. Umi Fahmida.
Pada diseminasi temuan awal AASH di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Jumat, Umi menambahkan perlu upaya bersama untuk melihat apa penyebab masih terjadinya praktik pemberian MPASI dini pada bayi. Baik itu berupa keyakinan akan ASI yang belum sepenuhnya keluar, maupun terkait kepercayaan penduduk setempat.
SEAMEO Regional Centre for Food and Nutrition (RECFON) –Pusat Kajian Gizi Regional Universitas Indonesia (PKGR UI) bekerja sama dengan United Kingdom Research and Innovation-Global Challenges Research Fund (UKRI-GCRF) melaksanakan studi Action Against Stunting Hub (AASH).
Studi yang melakukan pendekatan secara menyeluruh (whole child approach) itu dilaksanakan selama periode 2019-2024 di tiga negara (India, Indonesia, Senegal) dan Lombok Timur terpilih menjadi lokasi untuk studi ini di Indonesia. Wilayah studi AASH di Lombok Timur meliputi kecamatan Aikmel, Lenek, Sakra, dan Sikur.
Baca juga: UNICEF: Menyusui dini turunkan 22 persen kematian bayi
Baca juga: Inisiasi menyusui dini gerbang sukses menuju ASI ekslusif
Penelitian tersebut melibatkan 702 ibu hamil sejak Februari 2021. Studi kohor AASH diawali dengan rekrutmen ibu hamil saat trimester 2 pada 2021, yang dilanjutkan hingga kelahiran, sampai dengan anak berusia 24 bulan.
Studi AASH melihat tidak hanya pertumbuhan dan perkembangan anak, tetapi juga kesehatan saluran cerna, sanitasi, hingga tingkat stres pada ibu hamil.
“Studi ini spesial karena juga melihat tidak hanya ibu dan anak tapi juga bapak, termasuk aspek epigenetik,” jelas Umi.
Hasil temuan profil keluarga, status gizi, dan kesehatan ibu hamil dan anak yang dilakukan bersama Dr Min Kyaw Htet itu, lanjut Umi, menunjukkan bahwa 99,7 persen ibu hamil melakukan pemeriksaan pada trimester ketiga.
Sebanyak 87,8 persen pernah mengonsumsi tablet tambah darah, namun sebanyak 31,5 persen ibu tidak mencuci tangan pada setidaknya waktu kritis, dan 6,3 persen ibu hamil mengalami infeksi cacing.
Selain itu, temuan penelitian yang dilakukan pada ibu hamil saat pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa 86,3 persen ibu hamil mengalami tingkat stres sedang hingga tinggi, 26,5 persen depresi, dan 24,4 persen gangguan mental.
“Perlu adanya dukungan sosial yang cukup serta perlunya dukungan dan program terkait kesehatan mental. Apalagi pada saat pandemi COVID-19 tersebut, lebih dari setengah responden tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah tersebut, dan situasi itu dapat mempengaruhi anak yang dikandung mulai dari kehamilan,” terang Umi.
Baca juga: ASI ibu tak cukup penuhi kebutuhan bayi hanyalah mitos
Baca juga: Perlancar produksi ASI dengan sering menyusui dengan benar
Baca juga: Pemberian MPASI dini bisa menyebabkan masalah pencernaan bayi
Pewarta: Indriani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2024