Jakarta (ANTARA) – Korea Selatan belakang ini menjadi perhatian dunia usia Presiden Yoon Suk Yeol secara tiba-tiba mengumumkan darurat militer yang membuat heboh.
Keputusan darurat militer di Korea Selatan itu disampaikan Presiden Yoon Suk Yeol yang diumumkan melalui siaran televisi, pada Selasa (3/12/2024) pukul 23.00 waktu setempat (21.00 WIB).
Dia mengklaim bahwa pihak oposisi bersimpati dengan Korea Utara melakukan “kegiatan anti-negara yang mengarah ke pemberontakan”. Usai deklarasi darurat militer tersebut, Yoon sementara menempatkan militer sebagai penanggung jawab pemerintahan.
Parlemen hingga masyarakat menentang deklarasi presiden tersebut. Mereka berkumpul di parlemen Korsel untuk memprotes penetapan status darurat militer agar dicabut.
Sekitar enam jam setelah pengumuman dekrit darurat militer itu akhirnya Presiden Yoon Suk Yeol resmi mencabutnya usai ditolak oleh 190 anggota parlemen melalui pemungutan suara yang dilakukan pada Rabu (4/12/2024) dini hari.
Baca juga: Oposisi Korsel akan mulai pemakzulan jika presiden tidak mundur
Lantas apa itu darurat militer?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), darurat militer merupakan keadaan darurat suatu wilayah yang dikendalikan oleh militer sebagai pemimpin tertinggi.
Darurat militer atau martial law berupa seperangkat peraturan yang efektif diberlakukan setelah adanya pengumuman resmi melibatkan penggantian sementara kewenangan militer untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan sipil yang berkuasa secara formal untuk menjaga keamanan dan ketertiban suatu wilayah atau negara.
Biasanya diterapkan untuk segala sesuatu yang bersifat mendesak, di mana pemerintah yang berkuasa tidak dapat berfungsi semestinya ataupun dirasa terlalu terlalu lemah untuk menghadapi situasi-situasi seperti akibat perang, bencana alam, pemberontakan, atau setelah terjadinya kudeta.
Ketika darurat militer berlaku, komandan militer suatu wilayah atau negara memiliki kewenangan tak terbatas untuk membuat dan menegakkan hukum.
Di Indonesia, pemberlakuan darurat militer terdapat dasar hukum yang mengatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Dalam Perppu tersebut, pada Pasal 1 Ayat 1 disampaikan bahwa pihak yang menyatakan darurat militer adalah presiden atau panglima tertinggi angkatan perang. Dalam kondisi tertentu ada hal-hal yang membuat presiden bisa menetapkan darurat militer.
Baca juga: Kemlu RI: Situasi Korsel berangsur pulih, evakuasi WNI tak diperlukan
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan
darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:
- Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa
- Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga
- Hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.
Pada Pasal 5 UU tersebut menyampaikan bahwa pihak yang diperkenankan melakukan darurat militer, yaitu:
“Di daerah-daerah penguasaan keadaan darurat militer dilakukan oleh Komandan Militer tertinggi serendah-rendahnya Komandan kesatuan Resimen Angkatan Darat atau Komandan Kesatuan Angkatan Laut/Angkatan Udara yang sederajat dengan itu selaku Penguasa Darurat Militer Daerah yang daerah-hukumnya ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.”
Baca juga: Mantan menteri pertahanan Korsel dicekal di tengah kasus pengkhianatan
Penguasa Darurat Militer Daerah ini dibantu oleh seorang Kepala Daerah, Kepala Polisi dan Pengawas/Kepala Kejaksaan dari daerah yang bersangkutan. Penunjukan anggota-anggaota badan tersebut dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
Dalam UU tersebut juga menjelaskan, apabila darurat militer diberlakukan otoritas militer memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan di antaranya pembatasan hak dasar seperti kebebasan berkumpul dan berpendapat, pembatasan kebebasan pers, hingga membatasi atau melarang peredaran barang dalam daerah yang dinyatakan dalam keadaan darurat militer.
Indonesia pernah menerapkan darurat militer pada 2003 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam usai Keputusan Presiden (Keppres) ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Darurat militer tersebut diberlakukan untuk menghadapi tindakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menyatakan kemerdekaannya.
Saat itu, kondisinya semakin meningkatnya tindak kekerasan bersenjata yang kian mengarah pada tindakan terorisme dilakukan GAM, tidak hanya merusak ketertiban dan ketentraman masyarakat, mengganggu kelancaran roda pemerintahan, dan menghambat pelaksanaan berbagai program pembangunan.
Baca juga: Polisi selidiki tuduhan pengkhianatan yang dilakukan Presiden Korsel
Baca juga: Sekjen PBB sambut diakhirinya darurat militer di Korea Selatan
Pewarta: Sri Dewi Larasati
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2024